Hamparan Alam dalam Pangkuan Kakek Tua
Hai...sobat blogger, semoga senantiasa dalam keadaan yang sehat dan penuh semangat !!!
Buat sobat blogger yang kebetulan mampir, boleh luangkan waktunya untuk membaca rangkaian harapan dari suara yang terbungkam!
Mencoba menjaga apa yang seharusnya dijaga ^_^
Buat sobat blogger yang kebetulan mampir, boleh luangkan waktunya untuk membaca rangkaian harapan dari suara yang terbungkam!
Mencoba menjaga apa yang seharusnya dijaga ^_^
Hamparan
Alam dalam Pangkuan Kakek Tua
Mentari pagi menyambut hari penuh
warna, ku berjalan di tengah lantunan burung – burung yang merdu. Kupandang
hamparan sawah yang asri nan hijau, kurasakan sambutan semilir angin menusuk
sendi – sendi ototku, helaian daun yang menari dengan
gontai membuatku ingin menggenggamnya.
Di sudut lain terlihat hamparan sawah yang masih
diselimuti dengan tanah merah yang lengket, mataku tertuju pada seorang tani tua, kulitnya yang terlihat sudah hampir
kerepot dengan perawakan yang
mulai renta dimakan usia. Tangannya yang mulai tak sangkil, mengangkat
cangkulnya dengan penuh tenaga, perlahan kulangkahkan kaki di atas tanah merah
yang lengket, kuhampiri dirinya, ku sapa ia dengan senyuman lebar dari dasar
hati, kulihat ada senyuman yang indah di pipinya yang mulai kendur, sebagai
balasan dari sapaku.
Pak,
lagi apa ?,’ tanyaku dengan penuh ramah. Ini neng, bapak lagi kerja bendang,’
jawabnya sambil menggali tanah dengan cangkul. Neng, lagi apa , kenapa ada
disini ?,’ tanyanya. Enggak pak, saya Cuma main – main saja disini, saya hanya
ingin menghirup udara yang segar saja,’ ucapku pada kakek tua. Owh begitu,’
sahutnya dengan singkat.
Meskipun
kakek sudah tua renta seperti ini, tapi kakek hapal semua yang hidup di kampung
ini, dan sepertinya melihat roman muka mu, kakek baru pertamakalinya, apa kamu
datang dari luar kota ?,’ tanyanya dengan terheran – heran. Iya, kek, memang
benar, saya bukan asli daerah sini, saya dari Jakarta kek. Owh...orang kota
toh,’ sahutnya sambil tersenyum. Ah...kakek bisa saja, ini juga kan kota,
kotakan sawah,’ candaku membuat kakek terkekeh - kekeh bersamaku. Aduh,
neng...neng, ada – ada saja, lantas neng sekarang tinggal dimana ?,’ ujarnya
yang semakin akrab bersua. kebetulan, disini saya punya sanak saudara kek, saya
tinggal di rumah nenek Ati. Owh...kamu pasti cucu nya nek Ati ya,’ tebaknya.
Iya kek, itu nenek saya, dan saya akan menghabiskan waktu liburku disini,
sembari menjenguk nenek,’ jelasku. Owh begitu, kakek ini kenal betul siapa nek
Ati, ia selalu ramah pada setiap orang di daerah ini, hingga tak heran semua
warga di kampung ini mengenalnya,’ puji kakek itu pada nenekku. Iya... memang
nenek suka bersikap seperti itu, dan akupun belajar keramahan darinya,’
sahutku. Sewaktu – waktu, mainlah ke rumah kakek ya, karena rumah kakek tak
jauh dari rumah nek Ati, kakek tunggu ya neng,’ pintanya dengan tulus. Iya kek,
insyaallah, jika ada waktu kosong, saya pasti akan singgah ke rumah kakek. Iya,
kakek tunggu yah. Ya...sudah kek, sepertinya saya harus pulang dulu, takutnya
nenek mengkhawatirkan saya, karena saya terlalu lama keluar,’ pamitku sambil
bergegas meninggalkan kakek, selamat bekerja ya kek. Iya...hati – hati neng,
jalannya licin,’ teriaknya penuh kekhawatiran. Iya kek.
Perbincangan itu berakhir dengan
penuh kesan dalam hati ini, keberadaanku disini serasa disambut lembut,
meskipun hanya oleh seorang kakek tua. Ku langkahkan kakiku dengan penuh
keriangan tersirat di benakku, hingga mengantarkanku pada rumah bercat kopi
susu yang arsitektur bangunannya terlihat sederhana. Kubuka sandalku di depan
pagar biru, kurasakan keheningan di rumah nenekku itu, aku pun bergegas masuk
dan di rumah itu yang kutemukan hanyalah kesepian, kucari keberadaan nenekku,
kuhampiri kamarnya hanya ada ranjang kasur yang tertata rapih, ku berlari menuju
dapur dan masih tak kutemukan, dengan bersicepat ku hampiri kebun nenek yang
ada di belakang rumahnya, kukerahkan pandangan mataku untuk mencarinya pada
tiap sudut kebun itu, tapi tetap batang hidung nenekku tak terlihat. Aku pun
kembali ke rumah berharap nenek akan segera kembali.
Ku
tuangkan air dalam segelas putih, ku teguk dengan penuh terengah – engah,
mungkin aku terlalu cape saat mencari nenek. Ku rebahkan
tubuhku di kursi yang sudah lusuh milik nenekku. Ku menghela nafas perlahan,
hingga rasa lelah pun hilang.
Beberapa
menit kemudian, terdengar suara pintu terbuka, mataku pun menghampiri arah
suara itu dan ternyata ku temukan sesosok wanita tua yang terlihat lelah,
kubergegas menghampirinya. Nenek...nenek dari mana ?,’ tanyaku dengan penuh khawatir.
Nenek tadi mencarimu, tapi nenek tidak menemukamu,’ sahutnya dengan nada
rendah. Ya...sudah, sekarang nenek duduk dulu, ayo, nenek minum dulu ya, ‘
ucapku sambil kusodorkan segelas air putih padanya. Nenek pun meneguk air itu,
hingga tak ada setetes pun air dalam gelas itu. Nenek, saya minta maaf ya,
sudah membuat nenek mencariku,’ ucapku dengan penuh penyesalan. Sudahlah, yang penting kamu sudah ada
disini, nenek takut kamu tersesat, makanya nenek mencarimu,’ sahutnya dengan
penuh lega karena melihatku sudah ada di rumahnya. Ya...sudah, sekarang nenek istirahat
dulu ya,’ pintaku lembut. Iya,
baiklah nenek istirahat dulu ya,’ sahutnya sambil melangkahkan kakinya menuju
kamarnya.
Hari
berikutnya ku putuskan untuk pergi ke sawah lagi, untuk menghirup udara segar
dan memanjakan mata dengan hamparan padi yang hijau.
Di
tepi sawah, mataku tertuju pada seorang kakek yang tengah menggalikan
cangkulnya di tanah dan perlahan ku mendekatinya, ternyata kakek itu adalah
kakek yang tempo hari ku lihat.
Pagi
kek,’ sapaku dengan penuh manja. Selamat pagi, eh ada cucunya nek Ati,’
jawabnya sambil tersenyum. Kakek lagi mencangkul lagi ya ?,’ tanyaku dengan
ramah. Iya, neng,’ jawabnya singkat. Kakek tidak capek kerja seperti ini tiap
hari,’ tanyaku dengan penuh perhatian. Neng, jika kakek tidak bekerja seperti
ini, kakek mau makan apa ,’ sahutnya penuh pilu. Kakek disini hanya sebagai
pekerja, sawah yang menghampar luas disini bukan punya kakek, demi sesuap nasi
kakek rela bekerja disini serta kakek ingin melestarikan alam yang alami ini,’
jelas kakek itu. owh begitu, tapi kenapa tidak cucu – cucu kakek saja yang
bekerja, kan kakek itu sudah terlalu renta untuk bekerja,’ ujarku dengan penuh
keharuan. Sekarang kakek tinggal sendiri, istri kakek sudah meninggal, sedangkan cucu – cucu kakek ada di luar
kota bersama orangtuanya. Sungguh, aku merasa miris mendengarkan curhatan
kakek.
Hati
kakek terasa diiris sembilu, saat terlintas kabar kalau sawah ini akan dibeli
oleh orang Jakarta dan akan dibangun sebuah pabrik industri disini,’ ucapnya
pilu. Apa kek , pabrik industri , tidak bisa seperti itu dong kek, lagian di
zaman sekarang suasana hamparan sawah seperti ini sangat susah dicari,’ sahutku
dengan penuh kesal. Iya, kakek juga berpikir seperti itu, kakek igin mempertahankan
hamparan sawah ini untuk melestarikan alam yang masih alami bukan karena kakek
takut pekerjaan kakek hilang, kalau masalah pekerjaan kakek bisa mencarinya di
tempat lain, tapi kalau hamparan alam yang alami ini, sudah sangat langka,tapi
apa daya ucapan yang keluar dari rendahan ini, tidak akan ada yang nyahut’
jelas kakek dengan lirih. Kakek jangan bilang seperti itu, kalau boleh saya mau
membantu kakek mempertahankan hamparan alam ini, gimana bolehkan kek ?,’
saranku dengan penuh harapan. Memangnya kamu mau bantu kakek dengan apa ?,’
tanyanya penuh lirih. Aku tidak akan biarkan sawah ini dibeli oleh orang
Jakarta itu,’ ucapku dengan penuh optimis. Tapi gimana caranya ?,’ tanya kakek
itu. Saya akan beli sawah ini dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya,’
sahutku sambil tersenyum kecil. Aduh neng, sawah ini akan dijual dengan harga
50 juta, memangnya ada uangnya ?,’ tanya kakek, seperti yang tak percaya dengan
tekadku itu. Aduh kek, tenang saja, saya masih punya uang tabungan kok, kalupun
tidak cukup, saya bisa meminta bantuan pada orangtuaku dan saya yakin, orangtuaku
akan membantu kita, karena ayahku sangat suka melestarikan sesuatu, gimana kek
?,’ jelasku meyakinkan kakek itu. Baiklah kita coba ya neng,’ ucap kakek
disertai senyum kecil. Nah...gitu dong, kakek bisa antar saya ke rumah pemilik
sawah ini kan ?,’ tanyaku. Iya...nanti sore kita berangkat kesana,’ jawab kakek
yang sudah terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Bagus kalau begitu, saya
pamit pulang dulu ya kek, ‘pamitku sambil tersenyum kecil. Iya hati – hati
neng, terimakasih ya,’ sahutnya dengan penuh perhatian.
Aku
pun bergegas pulang, untuk melihat tabungan dalam kartu atm nya itu, meskipun
atm itu jauh dari daerah itu, tapi aku bergegas menuju atm itu berharap uang
yang ada dalam tabunganku bisa cukup untuk membeli sawah itu. sesudah melewati
yang berliku – liku, akhirnya aku pun sampai di atm dan aku pun langsung
memasukinya, karena waktu itu atm tidak sedang dalam keadaan ramai. Ku masukkan
kartu atm dan ku cek saldonya, ternyata tabunganku hanya 50 juta dan aku
berpikir harus ada uang lebih, agar sawah itu bisa terbeli. Aku pun keluar
sejenak dan ku hubungi ayahku dengan ponsel Nokia ku, perbincanganku di mulai
saat ayah mengangkat telepon dariku dan perbincanganku berakhir dengan
persetujuan dari ayahku yang bersedia meminjamkan uangnya sebesar 25 juta, aku
pun merasa lega dan menutup teleponnya.
Kulewati
waktuku di atas penantian uang yang ayah transferkan, hingga akhirnya aku
mendapatkan uang itu. Aku pulang dengan wajah yang penuh keriangan.
Senja pun mulai merayap, tapi kakek belum terlihat di depan rumah nek
Ati, sewaktu – waktu aku melihat keluar tapi perawakan yang renta pun tak
kutemukan. Menunggu dan terus menunggu hingga akhirnya, terdengar suara yang lemah mengucapkan salam dari luar sana. Aku pun menjawab salamnya sambil
bergegas keluar menghampirinya. Kakek kenapa lama sekali ?,’ tanyaku penuh
panik. Aduh neng, kakek kan kerja dulu, lagian pemilik sawah itu adanya di
rumah ya jam segini,’ sahutnya dengan lembut. Owh begitu, ya sudah kita berangkat
sekarang saja ya kek. Iya...ayo. Kaki ku pun melangkah bersama langkahnya kakek
tua itu, ku berjalan tidak terlalu lama, karena jarak rumah pemilik sawah itu
tidak jauh dari rumah nenek ku.
ku
ketuk pintu rumahnya, sekali tak ada yang membuka, dua kali ku ketuk masih
tidak ada dan ketiga kalinya, seorang perempuan yang terlihat sudah berkepala
4, membukakan pintunya dan dengan ramahnya ia menanyakan maksud kedatanganku,
setelah ku katakan maksud kedatanganku, ia pun mempersilahkan aku dan kakek masuk.
Aku pun mengikuti perintahnya, aku dan kakek duduk di kursi yang telah
disediakan disana.
Tunggu
sebentar ya, saya panggil dulu bapaknya,’ ucap perempuan itu dengan
ramah. Iya bu,
silahkan,’ shautku denagn senyum kecil.
Terlihat
seorang laki – laki berjalan menghampiri kami, perawakannya yang begitu besar
membuatku merinding. Langkah demi langkah membuatnya semakin dekat dengan kami,
ia pun duduk di antara kami.
Maaf
sebelumnya, apa gerangan yang mengantarkan kalian kesini ?,’ tanyanya cuek. Emhh...maaf pak sebelumnya, saya dengar bapak akan
menjual sawah bapak yang ada di pinggir kampung ini, apa itu benar ?,’ tanyaku
dengan penuh kaku. Iya, memangnya kenapa?,’ sahutnya singkat. Kiranya masih
bisa, saya mau membelinya,’ ucapku dengan tegas. Tapi sayangnya sawah ini sudah
ada yang mau beli, tuturnya.
Pak, saya kasih
harga lebih deh,’ muluk ku berharap ia mau menerimanya. Memangnya kamu berani
bayar berapa ?,’ ledeknya. Saya berani bayar sawah itu dengan harga 75 juta,’
sahutku dengan tegas. Kakek dan laki – laki itu pun kaget mendengarnya. Neng,
apa itu tidak terlalu besar ?,’ bisik kakek padaku. Sudahlah Kek, ini demi sawah itu, ‘ bisikku padanya.
Kamu
yakin ?,’ tanya laki – laki tersebut dengan sinis. Iya, gimana bapak mau ?,’
tanyaku tegas. Baiklah kalu begitu, saya akan menjual sawah itu dengan harga
yang kamu berikan tadi, dengan syarat uangnya harus ada di depan mata
sekarang,’ pintanya dengan tegas. Owh tentu, bahkan saya sudah mempersiapkan
sebelumnya, bisa di cek, sahutku sambil menyodorkan amplop cokelat yang berisikan lembaran uang. Ia pun
mengambilnya dan bergegas mengecek isi amplop tersebut. Jumlahnya pas, sesuai
yang kamu janjikan, okey saya jual sawah itu dengan harga 75 juta, ia pun
mengulurkan tangannya padaku sebagai tanda setuju dan itu berarti sawah yang
terhampar luas itu resmi menjadi milikku. Terimakasih pak, saya senang bisa
bekerjasama dengan bapak,’ ucapku ramah. Iya sama – sama,’ sahutnya sambil tersenyum kecil. Tidak lupa, ia
juga mengulurkan tangannya pada kakek, sambil tersenyum kecil. Kami pun
beranjak pamit dari rumah itu dan kemabali pualng dengan membawa ahmaparan
sawah yang hijau.
Terlihat
di benak kakek kebahagiaan yang dalam, dan itu membuatku bahagia. Neng,
terimaksih ya, karena sudah mau membantu kakek,’ ucapnya sambil tersenyum
kecil. Iya sama – sama kek, saya senang bisa membantu kakek dan saya harap
kakek bisa menjaga hamparan alam yang alami itu
dengan baik,’ titipku pada kakek.
Sungguh
ini akan menjadi hal yang membekas dalam ingatanku, kucoba menjaga apa yang
seharusnya ku jaga.
Bagi sobat blogger yang sudah mampir, syukraan :)
Kalau mampir, setidaknya tinggalkan jejak, OK
Komentar
Posting Komentar