CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL GADIS JAKARTA (NAJIB KAELANI) DAN NOVEL LAYAR TERKEMBANG (ST. TAKDIR ALISYAHBANA) (PENDEKATAN TEORI FEMINISME)




CITRA PEREMPUAN DALAM NOVEL GADIS JAKARTA (NAJIB KAELANI) DAN NOVEL LAYAR TERKEMBANG (ST. TAKDIR ALISYAHBANA)
(PENDEKATAN TEORI FEMINISME)

Karya sastra yang menyiratkan pergerakan perempuan tidak hanya ditulis oleh para perempuan, namun ada juga yang dihasilkan dari buah pena penulis laki-laki yang ikut memperjuangkan hak perempuan melalui karya sastra. Misalnya, dalam novel Gadis Jakarta (GJ) karya Najib Kaelani seorang penulis kaliber dunia dan novel Layar Terkembang (LT) karya St. Takdir Alisyahbana. Dalam kedua novel tersebut digambarkan bagaimana citra perempuan dalam melakukan pergerakan guna pembangunan bangsa. Citra perempuan digambarkan melalui genre sastra yang sama oleh kedua penulis ini. Dalam kedua novel tersebut diselipkan bagaimana perempuan ikut terlibat dalam pergerakan dan pembangunan bangsa. Kali ini peneliti ingin menguak  dua novel  dengan kajian bandingan. Tulisan ini merupakan salah satu penelitian yang ingin mengungkap bagaimana pergerakan perempuan yang terdapat dalam novel Gadis Jakarta (GJ) karya Najib Kaelani dengan novel Layar Terkembang (LT) karya St. Takdir Alisyahbana. Dengan diungkapnya pergerakan perempuan dari kedua novel tersebut, bisa saja ditemukan adanya keterpengaruhan kedua novel tersebut, baik dikarenakan adanya kesamaan situasi dan kondisi pada zaman tersebut maupun dikarenakan alasan lain. Untuk lebih rincinya, simak tulisan berikut! :)

 
A.   Latar Belakang
Perempuan pada awal abad ke-20, sudah memberanikan diri untuk ikut andil dalam berbagai hal, mereka senantiasa memperjuangkan haknya. Pergerakan perempuan tidak hanya dilakukan secara langsung dengan tindakan melainkan ada yang mengapresiasikannya melalui karya sastra. Mereka memberikan kritik ataupun gambaran bagaimana seharusnya hak perempuan itu diperjuangkan. Seperti halnya yang diusahakan oleh para kaum perempuan di Amerika Serikat yang senantiasa melakukan suatu perkumpulan khusus perempuan dalam merencanakan suatu hal sebagai upaya pergerakan perempuan dan merupakan awal adanya feminisme.[1]
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ada pula pergerakan perempuan yang diapresiasikan melalui karya sastra. Karya sastra yang menyiratkan pergerakan perempuan tidak hanya ditulis oleh para perempuan, namun ada juga yang dihasilkan dari buah pena penulis laki-laki yang ikut memperjuangkan hak perempuan melalui karya sastra. Misalnya, dalam novel Gadis Jakarta (GJ) karya Najib Kaelani seorang penulis kaliber dunia, novel Layar Terkembang (LT) karya St. Takdir Alisyahbana dan sebagainya. Dalam kedua novel tersebut digambarkan bagaimana citra perempuan dalam melakukan pergerakan guna pembangunan bangsa. Citra perempuan digambarkan melalui genre sastra yang sama oleh kedua penulis ini. Dalam kedua novel tersebut diselipkan bagaimana perempuan ikut terlibat dalam pergerakan dan pembangunan bangsa.
Melalui penelitian kajian bandingan ini, peneliti ingin mengungkap bagaimana pergerakan perempuan yang terdapat dalam novel Gadis Jakarta (GJ) karya Najib Kaelani dengan novel Layar Terkembang (LT) karya St. Takdir Alisyahbana. Dengan diungkapnya pergerakan perempuan dari kedua novel tersebut, bisa saja ditemukan adanya keterpengaruhan kedua novel tersebut, baik dikarenakan adanya kesamaan situasi dan kondisi pada zaman tersebut maupun dikarenakan alasan lain. Penelitian ini menggunakan pendekatan teori feminisme yang akan membantu dalam pembongkaran bentuk-bentuk pergerakan kaum perempuan dalam memperjaungkan hak-haknya.
Sebagai karya sastra yang memiliki amanat yang sama yang hendaknya disampaikan kepada kaum perempuan, novel Gadis Jakarta (GJ) karya Najib Kaelani dengan novel Layar Terkembang (LT) karya St. Takdir Alisyahbana akan dikaji dalam sastra bandingan dengan pendekatan teori feminisme, untuk mengungkapkan titik kemiripan tema yang ada dalam kedua novel tersebut.
B.   Teori
Untuk mengungkap bagimana citra perempuan yang terdapat dalam kedua novel tersebut, penelitian ini dibantu dengan menggunakan pendekatan feminisme. Adapun teori yang digunakan sebagai berikut.
1.   Citra
Citra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti rupa, gambar,  gambaran, gambaran yg dimiliki orang banyak mengenai pribadi.
Citra (image) adalah rupa atau gambar diri (Hoetomo, 2005: 123), gambar pikiran (Altenbernd, 1970: 12) dan dapat pula didefenisikan sebagai gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi (Chulsum & Novia, 2006: 167).
Citra ini merupakan gabungan dari semua pandangan dan perasaan yang membentuk kesadaran tentang eksistensinya. Citra diri adalah gambaran tentang apa dan siapa dirinya dilihat dari individu itu sendiri. Citra diri terdiri atas gambaran fisik dan psikologis. Gambaran fisik biasanya terbentuk terlebih dahulu daripada gambaran psikologis dan merupakan penilaian seorang atas penampilan fisik dan gengsinya yang diakibatkan oleh penampilan fisiknya di mata orang lain. Citra diri psikologis terdiri atas sifat-sifat yang berpengaruh terhadap perilaku seseorang, seperti sifat jujur, mandiri, dan sebagainya.
2.   Kritik Sastra Feminis
Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman) yang berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial.[2]
Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum wanita utnuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Fokus utama gerakan atau paham feminisme adalah terletak pada kesetaraan (equality) berbagai aspek kehidupan antara dua jenis kelamin manusia, laki-laki dan perempuan.
Feminisme di bidang sastra dapat dikelompokkan atas sumbangan para pemikirnya dari latar belakang budaya dan negara yang berbeda, seperti feminisme Amerika, Inggris, dan Prancis yang memiliki “warna” yang berbeda-beda   mengambil landasan teori sastra dari New Criticism, strukturalisme, psikoanalisis, dan teori-teori post-struktural, termasuk post-kolonial.
Teori ini menawarkan kepada seluruh pembaca perempuan dan kritikus sastra perempuan sebuah persepsi dan dugaan yang berbeda pada pengalaman membaca karya sastra apabila dibandingkan dengan laki-laki. Di samping itu, teori ini juga dapat menumbuhkan kesadaran para peminat sastra akan adanya perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna karya sastra, yaitu anggapan perbedaan seksual dalam interpretasi sastra dan pemaknaan karya sastra.
Para pengusung teori ini berkeyakinan bahwa sejarah penulisan sastra sebelum munculnya kritik sastra feminis selalu didominasi dan dikonstruksi oleh fiksi laki-laki.
Oleh karena itu, penggunaan kritik sastra feminis dalam penelitian ini menjadi sangat penting karena dipergunakan sebagai alat untuk ‘merasakan’ segala hal yang berkaitan dengan perempuan di dalam karya sastra, untuk kemudian mengungkap segala potensi yang mereka miliki.
Para feminis menegaskan bahwa tidak hanya dibutuhkan penelitian yang memberi pemahaman akan kehidupan, pengalaman, cita-cita dan kesulitan perempuan, juga dibutuhkan penelitian yang memberi, yaitu solusi atau pemecahan masalah untuk memperbaiki kehidupan mereka.
Adapun batasan yang digunakan dalam kritik sastra feminis menurut Jonathan Culler adalah reading as a woman atau ‘membaca sebagai perempuan’ (Selden, 1985: 120-123, Endraswara, 2006: 147).
Tujuan kajian feminisme adalah untuk mengokohkan studi yang berpusat pada perempuan (gynocritic) sekaligus mengokohkan kedudukan perempuan dan mengeksplorasi konstruksi budaya dari gender dan identitas.
Dalam kajian sastra pendekatan feminisme melahirkan kritik sastra feminisme yang bertujuan:
a.    Untuk menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan di masa lalu
b.    Membantu kita memahami, menafsirkan, dan menilai cerita-cerita rekaan penulis perempuan
c.     Menilai penilaian yang telah digunakan untuk menilai karya sastra.
C.   Analisis
Adapun kedudukan perempuan dalam novel Gadis Jakarta (GJ) karya Najib Kaelani dengan novel Layar Terkembang (LT) karya St. Takdir Alisyahbana yaitu sebagai berikut.
Kedudukan Perempuan
Novel Gadis Jakarta (Najib Kaelani)
Novel Layar Terkembang (St. Takdir A)
1.    “Aku percaya dengan kesatuan bangsa”, teriak Fatimah sambil mengangkat tangan, tanda protes.” (GJ, hal. 23)
1.    “Beberapa buah buku telah dibacanya dan sebagian besar dari pidatonya selesai. Ia yakin benar-benar, bahwa keadaan perempuan bangsanya amat buruk.” (LT, hal. 11)
2.    “Baiklah,’ sahut Fatimah, “ kita tidak akan memperoleh titik temu, sebab kalian telah menipu bangsa dan diri kalian sendiri.” (GJ, hal. 24)
2.    “Saya menghadiri kongres itu dahulu, sebagai wakil pedoman besar Putri Sedar dari Bandung.” (LT, hal. 13)
3.    “...sekarang gadis miskin dari kaum reaksioner, berani menolak lamaran seorang menteri dan seorang pemimpin partai, partai besar lagi.” (GJ, hal. 27)
3.    “...bagaimana harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang.” (LT, hal. 40)
4.    “Aku tidak pernah terkalahkan di medan perang. Apalagi oleh seorang perempuan.” (GJ, hal. 35)
4.    “...bahwa perempuanlah yang pertama kali memimpin anak dan menetapkan sifat-sifat yang mulia yang seumur hidup tidak berubah lagi dalam jiwa anak.” (LT, hal. 47)
5.    “Sekarang engkau akan mendapati seorang wanita yang tidak pernah terkalahkan.” (GJ, hal. 35)
5.    “Sesunggunya hanya kalau perempuan dikembalikan derajatnya sebagai manusia, barulah keadaan bangsa kita dapat berubah.” (LT, hal. 47)
Dalam novel Gadis Jakarta karya Najib Kailani tersebut digambarkan pergerakan seorang perempuan yang hendak berjuang membebaskan ayah serta tunangannya dari tahanan para anggota partai. Kedudukan perempuan tidak diremehkan lagi, keberadaannya cukup diakui, terlihat dalam kutipan di atas ada ungkapan:
Aku percaya dengan kesatuan bangsa teriak Fatimah sambil mengangkat tangan, tanda protes. (GJ, hal. 23)”
   Dari kutipan di atas tersirat bahwa perempuan pada masa itu sudah berani untuk menagjukan suatu protes, berani memberikan pendapat, tidak lagi menjadi perempuan yang bungkam membisu dengan keadaan yang terjadi.
Selain itu pada kutipan berikut:
Aku tidak pernah terkalahkan di medan perang. Apalagi oleh seorang perempuan. (GJ, hal. 35)
Kutipan ini dalam novelnya diungkapkan oleh salah satu tokoh laki-laki dalam novel Gadis Jakarta. Laki-laki ini merasa dirinya sudah direndahkan oleh perempuan. Hal ini menyiratkan bahwa perempuan tidak lagi menjadi kaum yang tertindas namun keberadaannya sudah mulai diperhitungkan.
Jika dikaitkan dalam realitanya, pada awal abad 20, banyak sekali gerakan perempuan (feminis) untuk menyuarakan atas ketidakadilan. Diantaranya Perhimpunan Feminis Mesir, yang mulanya didirikan pada 1923 oleh aktivis Hoda Shaarawy.[3]
Dalam perjuangan Revolusi Mesir di tahun 1919, pintu gerbang untuk bergerak di ruang yang lebih luas lagi mulai terbuka. Gerakan mereka di dalam revolusi tersebut memotivasi untuk terus bergerak menuntut hak-hak yang selama ini dibatasi.
Setelah terjadinya gerakan pembaharuan ini, posisi perempuan mulai terangkat. Banyak sekali pencapaian-pencapaian hasil gerakan pembaharuan tersebut, diantaranya:[4]
  1. Menyertakan perempuan dalam semua proses pembuatan keputusan – termasuk dalam merevisi konstitusi. Konstitusi baru Mesir harus menyerukan dihilangkannya diskriminasi berbasis gender bagaimana pun bentuknya. Terbukti adanya berbagai kelompok feminis yang bekerja untuk PBB merancang Piagam Perempuan Mesir, yang bisa menjadi sebuah model bagi konstitusi yang lebih peka gender.
  2. Untuk mendorong hak-hak perempuan adalah mensponsori program-program yang dilakukan oleh berbagai organisasi perempuan, dan melibatkan perempuan dari organisasi-organisasi ini dalam kabinet baru yang sedang dibentuk.
  3. Banyak perempuan dalam al-Ikhwan al-Muslimun menduduki peran-peran penting dalam partai dan organisasi mereka, seperti Hoda Abdel Moneim, seorang pengacara dan Ketua Komite Urusan Perempuan Partai Kebebasan dan Keadilan. Banyak perempuan di al-Ikhwan al-Muslimun juga mengelola berbagai program sosial.
Adapaun novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana ini merupakan karya yang lahir pada awal abad 20, tepatnya tahun 1936. Novel ini menggambarkan bagaiman kaum pemuda tidak hanya laki-laki melainkan perempuan juga ikut andil dalam pembangunan Indonesia dengan meningkatkan semangat intelektual dan menimba ilmu pengetahuan sebagai bekal untuk pembangunan tersebut.
Kedudukan perempuan tidak lagi dimarginalisasikan dan disubordinatkan, kedudukan perempuan sudah diakui keberadaannya. Perempuan tidak hanya melakukan pekerjaan rumah dan hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh laki-laki sebagai ayah maupun suaminya, namun perempuan sudah bisa melakukan hal yang lebih dari itu. Seperti dalam kutipan berikut:
Saya menghadiri kongres itu dahulu, sebagai wakil pedoman besar Putri Sedar dari Bandung (LT, hal. 13)”
Dari kutipan di atas tergambar bahwa perempuan sudah mulai melakukan aktivitas. Perempuan sudah mampu melakukan pergerakan sebagai pemimpin suatu organisasi.
Selain itu dalam kutipan berikut:
“...bagaimana harusnya kedudukan perempuan dalam masyarakat yang akan datang (LT, hal. 40)”
Pada kutipan di atas, perempuan sudah mulai berpikir ke depan, ikut memperjuangkan kehidupan masyarakat dalam bangsanya.
Novel ini merupakan pendapat yang hendak disampaikan oleh pengarang dan pandangan-pandangannya tentang peranan perempaun dan kaum muda dalam pembangunan Indonesia.
Adapun dalam realitanya, pada masa itu memang banyak gerakan-gerakan pemuda dalam upaya membangun pergerakan nasional, tidak hanya laki-laki, melainkan perempuan juga.
Dalam pergerakan nasional juga ada gerakan perempuan. Terutama yang khusus berjuang untuk rneninggikan derajat wanita, emansipasi wanita dan hal-hal yang bertalian dengan kesejahteraan rumah tangga yang menjadi tiang suksesnya pembangunan sesuatu bangsa. Semenjak dirintis oleh R.A. Kartini pada permulaan abad ini gerakan wanita berkembang seirama dengan gerakan pemuda.
Pada umumnya bergerak di bidang sosial- budaya, dan di samping mendirikan organisasi, mereka juga menerbitkan majalah-majalah dan brosur-brosur yang kesemuanya mempercepat proses kemajuan wanita Indonesia. Perkumpulan wanita berdiri di mana-mana seperti :

·       Perkumpulan Kartinifonds di Semarang, 
·       Putri Mardika di Jakarta, 
·       Maju Kemuliaan di Bandung,
·       Wanita Rukun Santoso di Malang, 
·       Budi Wanito di Solo, 
·       Kerajinan Amai Setia di Kota Gadang, 
·       Serikat Kaum Ibu Sumatra di Bukittinggi, 
·       Inaa Tuni di Ambon,
·       Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwenvereeniging, 
·       dan Sebagainya.

Banyaknya perkumpulan ini juga menunjukkan bahwa golongan wanita tidak mau ketinggalan dalam proses kemajuan nasional. Surat kabar gerakan wanita yang terkenal antara lain adalah: 

·       Poetri Hindia di Bandung (1909), 
·       Wanito Sworo (1913) di Pacitan-Brebes, 
·       Soenting Melayoe di Bukittinggi, 
·       Estri Oetomo di Semarang,
·       Soeara Perempuan di Padang,
·       Perempoean Bergerak di Medan 
·       Poetri Mardika di Jakarta.

Selain itu, pada awal abad 20, muncul para pengarang wanita, seperti Fatimah H. Delais (1914-1953), Maria Amin yang menulis sajak-sajak dalam majalah Pujangga Baru, tetapi peranannya lebih berarti ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.[5]
Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kedua karya di atas disampaikan oleh pengarangnya dengan genre sastra yang sama yaitu prosa imajinatif dalam bentuk novel, selain itu keduanya memiliki amanat yang hendak disampaikan pada kaum perempuan agar mereka mampu untuk ikut terlibat dalam pergerakan nasional. Dalam kedua novel tersebut, mereka menggambarkan gerakan perempuan atau pun tindakan-tindakan yang dilakukan kaum perempuan dalam kehidupan bangsanya masing-masing.
Dalam novel Gadis Jakarta karya Najib Kailani, digambarkan bahwa adanya pergerakan perempuan yaitu dengan adanya perempuan yang ikut terlibat dalam sutau partai politik, sedangkan dalam novel Layar Terkembang karya St. Takdir Alisyahbana didalamnya menggambarkan pergerakan perempuan yang ikut aktif dalam suatu organisasi dalam rangka ikut melakukan pembangunan bangsa. Dapat ditarik kesimpulan dari kedua novel tersebut adanya pergerakan perempuan yang telah ikut terlibat dalam pembangunan bangsa baik dengan ikut aktif dalam suatu partai maupun organisasi. Jika dikaitkan dengan keadaan pada awal abad 20, memang perempuan sudah ikut terlibat dalam pergerakan nasional. Jadi, karena kedua novel tersebut lahir pada awal abad 20, kedua penulisnya menyesuaikan dengan kondisi pada zaman tersebut.

D.  Simpulan
Dari hasil analisis kedua karya tersebut, dapat terlihat bahwa keduanya memiliki unsur pembangun tema yaitu menggambarkan gerakan perempuan dalam pembangunan nasional. Jika dilihat dari lahirnya kedua karya tersebut, muncul pada awal abad 20-an, keduanya menggambarkan bahwa pada abad tersebut perempuan ikut terlibat dan memegang andil dalam pergerakan nasional.
Erat kaitannya dengan realita pada masa itu, memang di Indonesia maupun di Mesir, perempuan sudah mulai mengeksplor diri dengan hal-hal yang lebih positif, dengan bermunculannya para pengarang perempuan, adanya organisasi yang merupakan kumpulan perempuan dan sebagainya.
E.   Referensi:
·         Ajip Rosidi, 2000. Ikhtisar Sejarah Indonesia. Bandung: Putra Abardin.
·         http://www.artikelsiana.com/2014/09/Sejarah-Gerakan-Pemuda-Wanita-Sumpah-isi-lahirnya.html#, diakses pada tanggal 15 November 2015, pkl. 07.40.
·         KBBI. V1
·         Najib Kaelani, 2001. Gadis Jakarta. Jogjakarta: Navila.
·         Nyoman Kutha Ratna, 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar.
·         Shalah Qazan, 2001. Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan. Solo: Era Intermedia.
·         St. Takdir Alisyahbana, 2009. Layar Terkembang. Jakarta: Balai Pustaka.

Itulah penelitian mengenai dua novel yang menyiratkan feminisme, mudah-mudahan bermanfaat guys. Kalau ada masukkan, mohon tinggalkan jejak.
Happy reads! ^_^

[1]Bisa dilihat dalam bukunya Estelle. B. Freedman. Women’s Rights, Women Work, and Women’s Sphere, NO TURNING BACK (The History of Feminism and The future women)), hal. 45.
[2]Nyoman Kutha Ratna, 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, hal. 184.
[3]Randha El Tahaway, Perempuan Mesir Melanjutkan Perjuangan. Diakses dari http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31687&lan=ba&sp=0, pada tanggal 15 November 20115, pkl. 07.35.
[5]Ajip Rosidi, 2000. Ikhtisar Sejarah Indonesia. Bandung: Putra Abardin, hal. 56.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KRITIK NOVEL “OF MICE AND MEN”